Bab 05: Gejolak Batin Sang Buronan

 

**Perhatian!!! 
Mohon jangan meng-copy paste sebagian atau keseluruhan Cerita ini. 
Anda hanya diperkenankan membaca di blog ini. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya
🙏🤭⭐🇮🇩**
***************

Fajar belum lagi sempurna membasuh sisa-sisa malam ketika Arok tiba kembali di gua persembunyiannya. Udara masih terasa menggigit tulang, namun di dalam dadanya, api yang disulut oleh pertemuannya dengan Brahmana Lohgawe berkobar begitu panas, mengusir semua hawa dingin. Wajahnya tampak lebih keras dari biasanya, sepasang matanya menyiratkan pergulatan batin yang begitu dahsyat, seolah di dalam dirinya tengah terjadi sebuah pertempuran antara dua dunia yang berbeda.

Ia tidak langsung masuk ke dalam gua. Ia berdiri di pelataran, memandangi kawan-kawannya yang masih terlelap dalam tidurnya. Ada Mahesa yang mendengkur keras dengan tubuh meringkuk laksana seekor beruang, Tanca yang tidur bersila dengan napas yang teratur, dan puluhan wajah lain yang telah menyerahkan nasib mereka ke tangannya. Wajah-wajah keras yang ditempa oleh penderitaan, namun menyimpan kesetiaan yang murni dan tanpa pamrih.

Sebuah sayatan perih tiba-tiba terasa mengiris hatinya.

"Mematikan dirimu yang sekarang..."

Ucapan Brahmana Lohgawe kembali terngiang di telinganya, laksana gema gaib yang tak mau pergi. Apa artinya "mematikan diri"? Apakah itu berarti ia harus meninggalkan mereka semua? Meninggalkan orang-orang yang telah menjadi keluarganya, yang telah berbagi suka dan duka dengannya di alam liar ini? Bagaimana ia bisa menjelaskan pada mereka bahwa perjuangan yang selama ini mereka rintis bersama di lereng gunung ini ternyata hanyalah sebuah "jalan buntu"?

Arok melangkah pelan menuju sebuah tungku api yang apinya hampir padam, hanya menyisakan bara-bara merah yang berkedip-kedip seperti mata iblis. Ia berjongkok, mengulurkan tangannya untuk merasakan kehangatan yang tersisa. Bara api ini, pikirnya, sama seperti perjuangan mereka. Tampak menyala, tampak memberikan harapan, namun jika tidak diberi kayu bakar yang baru, ia akan padam ditelan abu.

Kayu bakar itu adalah sebuah rencana baru. Sebuah strategi yang radikal dan menakutkan. Dan untuk mendapatkan kayu bakar itu, ia harus pergi. Sendiri.

"Kau sudah kembali."

Sebuah suara serak dan berat mengejutkannya. Arok menoleh. Tanca telah terbangun dan kini berdiri di belakangnya, matanya yang tajam menatapnya dengan penuh selidik. Tanca adalah orang yang paling peka di antara mereka semua. Ia bisa merasakan perubahan sekecil apapun pada diri Arok.

“Aku tidak bisa tidur, Paman,” jawab Arok, mencoba terdengar biasa.


“Bukan hanya itu,” sahut Tanca sambil berjalan mendekat dan duduk di samping Arok. “Ada sesuatu yang berbeda padamu pagi ini. Jiwamu terasa bergejolak, tapi bukan oleh amarah. Ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam. Kau bertemu seseorang di hutan, bukan?”


Arok terkesiap. Kepekaan Tanca sungguh luar biasa. Berbohong padanya adalah sebuah kesia-siaan. Arok menghela napas panjang. Ia tahu, ia harus berbagi beban ini, setidaknya dengan orang yang paling ia percaya.


“Ya, Paman. Aku bertemu seorang Brahmana tua bernama Lohgawe.”


Mendengar nama itu, tubuh Tanca sedikit menegang. “Lohgawe? Sang Pertapa Putih dari Puncak Kawi?” bisiknya, ada nada hormat sekaligus gentar dalam suaranya. “Legenda mengatakan ia bukanlah manusia biasa. Ia adalah penjaga kebijaksanaan kuno. Apa yang ia katakan padamu?”


Arok menatap bara api di hadapannya. Dengan suara rendah, ia menceritakan semua percakapannya dengan Brahmana itu. Tentang perlawanan mereka yang diibaratkan memotong ranting pohon beracun, tentang jalan takdirnya yang terbentang di jantung istana Tumapel, dan tentang syarat untuk "mematikan" dirinya yang sekarang.


Semakin lama Arok bercerita, semakin dalam kerutan di dahi Tanca. Pria tua itu mendengarkan dengan saksama, tidak menyela sedikit pun. Wajahnya yang keras tampak berpikir keras, menimbang setiap kata, setiap makna yang tersirat.


Ketika Arok selesai bercerita, keheningan menyelimuti mereka berdua. Hanya suara desis bara api dan napas mereka yang berat yang terdengar.


“Ini adalah sebuah pertaruhan yang gila, Arok,” desis Tanca akhirnya, matanya menatap tajam ke dalam mata Arok. “Masuk ke dalam sarang singa sama saja dengan menyerahkan nyawa. Istana Tumapel bukanlah tempat untuk orang seperti kita. Di sana, kehormatan tidak ada harganya. Yang ada hanyalah lidah yang manis, punggung yang lentur untuk membungkuk, dan pisau yang siap ditusukkan dari belakang.”


“Aku tahu, Paman,” jawab Arok. “Tetapi apa yang dikatakan Brahmana itu benar. Perlawanan kita dari luar hanya akan menjadi gangguan kecil bagi mereka. Selama Tunggul Ametung masih duduk di singgasananya, penderitaan rakyat tidak akan pernah berakhir. Kita harus mencabut akarnya.”


“Dengan mengorbankan dirimu sendiri?” sela Tanca dengan nada tinggi. “Dan bagaimana dengan kami semua? Bagaimana dengan orang-orang yang telah mempercayakan hidup mereka padamu? Kau akan meninggalkan mereka begitu saja?”


Pertanyaan itu tepat menghantam titik terlemah di dalam hati Arok. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata Tanca yang menuntut. “Itulah yang membuatku resah, Paman. Itulah yang membuat hatiku terasa terbelah.”


Tanca membuang muka, pandangannya menerawang ke arah langit yang mulai terang. Ia adalah seorang pejuang sejati. Baginya, kehormatan adalah bertarung secara jantan, berhadapan muka. Konsep menyusup, menyamar, dan bermain intrik adalah sesuatu yang asing dan menjijikkan baginya.


“Dulu, guruku pernah berkata,” ujar Tanca dengan suara lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “ada dua jenis keberanian. Keberanian seekor harimau, yang menerjang maju dengan taring dan cakar terhunus. Dan keberanian seekor laba-laba, yang dengan sabar menenun jaringnya dalam diam, menunggu saat yang tepat untuk menjerat mangsanya. Keduanya sama-sama mematikan. Selama ini, kita adalah harimau. Dan kini, Brahmana itu memintamu untuk menjadi seekor laba-laba.”


Ia kembali menatap Arok. “Pertanyaannya adalah, sanggupkah kau melakukannya? Sanggupkah kau menanggalkan kulit harimaumu dan mengenakan kulit domba? Sanggupkah kau menahan amarahmu saat melihat ketidakadilan di depan matamu sendiri? Sanggupkah kau tersenyum pada orang yang paling ingin kau bunuh?”


Setiap pertanyaan Tanca adalah sebuah tusukan yang menguji keteguhan hati Arok. Arok terdiam lama. Ia membayangkan dirinya berada di istana, melihat prajurit sewenang-wenang pada abdi, melihat Tunggul Ametung berpesta pora sementara rakyat kelaparan. Sanggupkah ia hanya diam dan tersenyum? Darahnya yang panas terasa mendidih hanya dengan membayangkannya.


Namun, bayangan lain melintas di benaknya. Bayangan wajah-wajah rakyat Jatiwangi yang penuh harapan. Bayangan para pengikutnya yang setia. Mereka semua bergantung padanya. Jika ia tetap menjadi harimau, ia mungkin bisa memenangkan beberapa pertempuran kecil, namun ia akan kalah dalam perang besar ini. Tapi jika ia menjadi laba-laba, ia memiliki kesempatan, sekecil apapun itu, untuk menangkap sang raja serigala itu sendiri.


“Aku… aku tidak tahu apakah aku sanggup, Paman,” aku Arok dengan jujur, suaranya terdengar serak. “Tetapi aku harus mencobanya. Tidak ada jalan lain.”


Melihat kesungguhan dan gejolak batin yang terpancar dari wajah pemimpin mudanya, hati Tanca yang keras perlahan luluh. Rasa sayangnya pada Arok mengalahkan prinsip-prinsip pribadinya. Ia tahu, Arok telah memikul beban yang terlalu berat untuk pundak seusianya.


“Jika ini memang jalan yang harus kau tempuh,” kata Tanca akhirnya, keputusannya telah bulat, “maka tempuhlah. Jangan khawatirkan kami.”


“Paman…”


“Dengar,” potong Tanca dengan tegas. “Tanpa dirimu, kami mungkin tidak akan bisa melancarkan serangan besar. Tapi kami bisa bertahan. Aku akan memimpin mereka untuk tetap bersembunyi, menjaga api perjuangan ini tetap menyala kecil, menunggu isyarat darimu. Kami akan menjadi bayanganmu di luar dinding istana.” Ia menepuk pundak Arok dengan keras. “Pergilah. Jadilah laba-laba itu. Tenun jaringmu dengan sabar. Dan jika saatnya tiba, saat mangsa besarmu telah terjerat, kami para harimau akan datang untuk membantumu merobeknya.”


Air mata menggenang di pelupuk mata Arok, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Dukungan dari orang yang paling ia hormati memberinya kekuatan yang luar biasa. Ia mengangguk dengan mantap. “Terima kasih, Paman. Aku berutang nyawa padamu.”


“Hentikan omong kosong itu,” gerutu Tanca. “Sekarang, pikirkan bagaimana kau akan menjelaskannya pada Mahesa dan yang lainnya. Hati anak itu lurus seperti batang bambu, tapi juga mudah terbakar seperti ilalang kering.”


Benar saja. Ketika Arok mengumpulkan semua pengikutnya dan menjelaskan rencananya, reaksi pertama yang muncul adalah penolakan keras, terutama dari Mahesa.


“Apa?!” teriak Mahesa, wajahnya merah padam karena amarah dan ketidakpercayaan. “Kakang akan meninggalkan kami? Meninggalkan perjuangan ini untuk menjadi abdi di istana? Menjadi pesuruh dari orang-orang yang selama ini kita benci? Ini gila! Ini pengkhianatan!”


Beberapa pemuda lain ikut bersuara, menyetujui ucapan Mahesa. Suasana menjadi tegang dan penuh emosi.


Arok membiarkan mereka meluapkan perasaannya. Ia tidak memotong, tidak juga membela diri. Ia hanya berdiri diam, mendengarkan setiap cacian dan ungkapan kekecewaan dengan wajah tenang.


Setelah gelombang kemarahan itu sedikit mereda, barulah Arok berbicara. Suaranya tidak keras, namun mengandung wibawa yang membuat semua orang terdiam.


“Aku mengerti kemarahan kalian. Jika aku berada di posisi kalian, aku mungkin akan merasakan hal yang sama,” mulainya. Ia menatap lurus ke mata Mahesa. “Kau bilang ini pengkhianatan. Aku bertanya padamu, Mahesa. Jika ada sebuah benteng yang tidak bisa kita tembus dari luar, apakah salah jika salah satu dari kita mencoba mencari celah untuk masuk ke dalam dan membuka gerbangnya dari dalam?”


Mahesa terdiam, tak bisa langsung menjawab.


“Apakah seorang pemburu yang menyamar dengan kulit rusa untuk mendekati kawanannya adalah seorang pengkhianat bagi sesama pemburu?” lanjut Arok. “Aku tidak akan menjadi abdi mereka. Aku akan menjadi penyakit yang menggerogoti mereka dari dalam. Aku akan menjadi mata dan telinga kalian di jantung pertahanan musuh. Ini bukan akhir dari perjuangan kita. Ini adalah awal dari babak yang baru, babak yang jauh lebih berbahaya.”


Ia berhenti, membiarkan logikanya meresap. “Aku tidak meminta kalian untuk ikut denganku. Jalan ini harus kutempuh sendiri. Aku hanya meminta kepercayaan kalian. Percayalah pada rencanaku, seperti kalian percaya pada pedangku. Paman Tanca akan memimpin kalian selama aku pergi. Tetaplah berlatih, tetaplah waspada, dan tunggulah isyarat dariku.”


Kata-kata Arok yang tenang namun penuh keyakinan itu perlahan mulai menggoyahkan kemarahan Mahesa dan yang lainnya. Mereka mulai melihat logika di balik rencana yang tadinya tampak gila itu.


Tanca kemudian maju ke depan. “Aku percaya pada Arok,” katanya dengan suara lantang. “Aku percaya pada jalan yang ditunjukkan oleh Sang Brahmana. Siapapun yang masih menganggap dirinya pengikut Arok, akan tetap berada di sini bersamaku, menjaga benteng kita di lereng Kawi ini. Kita akan menjadi pasukan cadangan, pasukan rahasia yang menunggu perintah dari senapati kita yang sedang menyusup ke jantung musuh. Siapa yang menolak, boleh pergi meninggalkan tempat ini sekarang juga.”


Ancaman halus dari Tanca itu berhasil membungkam sisa-sisa penolakan. Tidak ada satu pun yang bergerak untuk pergi. Mereka semua menundukkan kepala. Mahesa, meskipun masih tampak belum sepenuhnya menerima, akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk dengan enggan.

“Baiklah, Kakang,” katanya dengan suara berat. “Aku… aku akan mencoba untuk percaya. Tapi jika suatu saat kami mendengar kau telah benar-benar menjadi anjing penjaga istana, kami sendiri yang akan turun untuk memburumu.”

Arok tersenyum tipis. “Aku pegang janjimu, Adi.”

Perpisahan itu terasa berat, namun singkat. Tidak ada pelukan atau air mata. Hanya sebuah anggukan kepala dan tatapan mata yang penuh makna. Saat matahari mulai merangkak naik, Arok berbalik badan, dan tanpa menoleh ke belakang lagi, ia melangkah meninggalkan satu-satunya tempat yang pernah ia sebut sebagai rumah.

Ia berjalan menuruni lereng gunung, menuju Candi Watu Kembang. Setiap langkah terasa seperti meninggalkan sepotong hatinya. Gejolak batinnya masih berkecamuk. Ia adalah seorang buronan yang kini akan menjadi calon abdi. Seorang pemimpin yang kini harus belajar menjadi pesuruh. Seorang harimau yang harus belajar menyembunyikan taringnya. Perjalanannya menuju istana Tumapel telah dimulai, sebuah perjalanan yang tidak hanya akan menguji ilmu kanuragannya, tetapi juga akan mengoyak-ngoyak jiwanya hingga ke serpihan yang paling kecil.

*****bersambung BAB 06

Komentar

Postingan Populer