Bab 03: Ilmu Angin Lereng Kawi
**Perhatian!!!
Mohon jangan meng-copy paste sebagian atau keseluruhan Cerita ini.
Anda hanya diperkenankan membaca di blog ini. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya
🙏🤭⭐🇮🇩**
*****************
Fajar menyingsing di ufuk timur, mengoyak selubung malam dengan jari-jemari cahayanya yang pucat. Mega-mega di angkasa yang semula kelabu kini mulai tersipu-sipu dengan warna lembayung dan keemasan. Embun pagi yang menetes dari dedaunan berkilauan laksana permata yang ditaburkan oleh para dewa di atas permadani hijau pegunungan. Kehidupan baru seolah dimulai, membawa serta napas segar yang membersihkan sisa-sisa ketegangan malam tadi.
Di pelataran depan gua persembunyian mereka, suasana terasa berbeda dari biasanya. Beberapa orang pengikut Arok, terutama yang berusia muda, tak bisa menyembunyikan binar kemenangan di mata mereka. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, mengulang-ulang cerita tentang penyerbuan di Jatiwangi dengan penuh semangat. Tawa mereka yang tertahan terdengar renyah, sebuah luapan sukacita yang telah lama terpendam.
“Kalian seharusnya melihat wajah Ki Glondong saat Kakang Arok mematahkan goloknya!” seru seorang pemuda kurus bernama Kertu, sambil memperagakan gerakan mematahkan ranting kayu hingga berderak. “Wajahnya yang merah seperti kepiting rebus berubah menjadi seputih kapas!”
Yang lain menyambutnya dengan tawa berderai. Mahesa, yang menjadi salah satu pelaku utama, berdiri di tengah-tengah mereka dengan dada membusung. Wajahnya berseri-seri oleh kebanggaan. Ia adalah seekor macan kumbang muda yang baru saja berhasil menerkam mangsa besarnya yang pertama.
“Itu belum seberapa,” sahut Mahesa dengan nada pongah. “Jika saja Kakang Arok memberiku isyarat, kepala tambun itu sudah menggelinding di lantai pendapa.”
Namun, di tengah keriuhan itu, Arok justru menyendiri. Ia duduk bersila di atas sebuah batu datar yang menjorok ke arah jurang, membelakangi kawan-kawannya. Pandangannya lurus menatap cakrawala, menembus lautan kabut yang masih bergulung-gulung di lembah. Wajahnya tenang laksana permukaan telaga di pagi buta, namun di dalam dadanya, perasaannya bergemuruh laksana badai di tengah samudra. Kemenangan semalam tidak memberinya kepuasan, justru meninggalkan sebuah endapan keresahan yang aneh di dasar kalbunya. Ia telah menyalakan api. Tapi ia sadar betul, api yang tak terkendali bisa membakar tuannya sendiri.
Tanca, yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, perlahan melangkah mendekati Arok. Langkahnya yang mantap dan nyaris tak bersuara menunjukkan kedalaman ilmunya. Ia berhenti di samping Arok, ikut memandang hamparan kabut di bawah mereka.
“Langit yang indah pagi ini,” ucap Tanca, membuka percakapan dengan suara rendah. “Sebuah pertanda baik, mungkin.”
Arok tidak menoleh. “Langit bisa menipu, Paman. Di balik keindahannya, ia bisa menyimpan badai yang dahsyat.”
Tanca tersenyum tipis. “Sama seperti di dalam hati manusia, bukan? Di luar tampak tenang, di dalam bergolak tak menentu. Kau tidak tampak seperti seorang pemenang pagi ini, Arok. Ada apa yang merisaukan hatimu?”
Arok menghela napas panjang, sebuah hembusan yang seolah melepaskan sebagian beban di dadanya. “Aku mendengar tawa mereka, Paman. Aku melihat binar di mata mereka. Aku khawatir, kemenangan kecil ini akan melahirkan keangkuhan. Aku khawatir, niat awal kita untuk membebaskan rakyat akan tercemar oleh kesenangan menumpahkan darah dan mempermalukan lawan.” Ia berhenti sejenak, matanya meredup. “Aku khawatir, kita hanya akan menjadi badai baru yang menggantikan badai yang lama.”
Hati Tanca tergetar mendengar ucapan itu. Pemuda di hadapannya ini memiliki kedalaman berpikir yang melampaui usianya. Ia bukan sekadar seorang pemimpin gerombolan, melainkan seorang pemikir, seorang ahli siasat yang selalu menimbang akibat dari setiap langkahnya.
“Kekhawatiranmu beralasan, Arok,” jawab Tanca. “Kekuasaan, bahkan dalam bentuk yang paling kecil sekalipun, adalah candu yang memabukkan. Ia bisa mengubah niat paling suci menjadi nafsu paling keji. Tugasmulah sebagai pemimpin untuk menjaga agar api di dalam dada kita tetap menyala murni, membakar ketidakadilan, bukan membakar nurani kita sendiri.”
Tiba-tiba, suara Mahesa yang lantang memecah keheningan mereka. “Kakang Arok!”
Arok dan Tanca menoleh. Mahesa berjalan ke arah mereka dengan langkah tegap, diikuti oleh beberapa pemuda lainnya. Api semangat masih menyala-nyala di matanya.
“Kakang, kami semua mengakui kehebatanmu semalam. Pukulanmu yang merontokkan golok Ki Glondong sungguh luar biasa,” kata Mahesa dengan penuh kekaguman. “Tapi, aku masih penasaran. Aku ingin menjajal sampai di mana sesungguhnya kedalaman ilmumu. Izinkan aku menguji Ilmu Macan Kumbang-ku dengan ilmumu, Kakang. Hanya sebuah latihan persahabatan, untuk memacu semangat kami semua.”
Permintaan itu terdengar lancang, namun Arok melihat sorot mata Mahesa yang jujur dan penuh rasa ingin tahu, bukan sebuah tantangan yang dilandasi kesombongan. Ia melihat dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu pada diri Mahesa: bersemangat, penuh tenaga, dan selalu ingin membuktikan diri.
Arok bangkit dari duduknya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Ini adalah kesempatan yang baik, bukan untuk memamerkan kekuatan, tetapi untuk menanamkan sebuah pemahaman, sebuah piwulang melalui gerak.
“Baiklah, Adi Mahesa,” jawab Arok. “Tapi seperti katamu, ini bukan pertarungan. Anggaplah ini sebuah tarian antara dua kekuatan yang berbeda.”
Mereka bergerak ke sebuah pelataran yang lebih luas. Berita tentang “latihan tanding” antara Arok dan Mahesa menyebar cepat. Semua pengikut mereka segera berkumpul, membentuk lingkaran besar. Mereka semua ingin menyaksikan dua orang terkuat di antara mereka mengadu kepandaian.
Mahesa mengambil posisi lebih dulu. Ia merendahkan tubuhnya, kedua tangannya membentuk cakar macan. Kuda-kudanya kokoh dan kuat, menyiratkan kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya. Dari seluruh sikapnya, terpancar aura serangan yang buas dan agresif.
Di seberangnya, Arok berdiri dengan sikap yang sangat berbeda. Ia hanya berdiri tegak dengan santai, kedua tangannya terkulai di sisi tubuh. Tidak ada kuda-kuda, tidak ada aura permusuhan. Ia tampak seperti sebatang ilalang yang pasrah pada hembusan angin, sama sekali tidak berbahaya.
“Bersiaplah, Kakang!” geram Umang.
Dengan sebuah teriakan yang menggetarkan udara, Mahesa menerjang maju. Gerakannya dahsyat laksana seekor macan kumbang yang menerkam mangsanya. Pukulan tangan kanannya yang terkepal melesat lurus mengarah ke dada Arok, membawa serta angin yang berdesir tajam.
Namun, yang terjadi selanjutnya membuat semua yang menonton menahan napas. Tepat ketika pukulan itu hampir mengenai sasaran, tubuh Arok sedikit bergeser ke samping, hanya seujung rambut. Gerakannya begitu halus dan ringan seolah ia tidak memiliki bobot. Pukulan dahsyat Mahesa lewat begitu saja, hanya mengenai ruang kosong. Tenaga yang telah ia kerahkan sepenuhnya menjadi sia-sia, membuat tubuhnya sedikit terhuyung ke depan.
Mahesa tidak menyerah. Ia berputar cepat, melancarkan tendangan memutar yang mengincar pinggang Arok. Namun lagi-lagi, Arok bergerak. Kali ini ia tidak mengelak, melainkan sedikit melangkah maju, masuk ke dalam jarak serangan. Gerakan ini sangat berbahaya dan berlawanan dengan naluri, namun justru itu yang membuat tendangan Mahesa kehilangan kekuatannya sebelum mencapai puncak. Arok kemudian menempelkan telapak tangannya dengan lembut di paha Mahesa yang sedang menendang, seolah hanya menahannya. Namun sentuhan ringan itu entah bagaimana berhasil menyerap dan menghilangkan seluruh kekuatan tendangan Mahesa.
Mahesa meloncat mundur, napasnya mulai memburu. Wajahnya menunjukkan keheranan yang luar biasa. Ia merasa seperti sedang mencoba memukul angin. Setiap serangannya yang penuh tenaga selalu menemui kekosongan.
“Kenapa kau tidak melawan, Kakang?” seru Mahesa, mulai frustrasi.
Arok tersenyum tipis. “Aku sedang melawan, Adi. Tapi tidak dengan caramu.”
Ia kemudian mulai berbicara, suaranya tenang namun terdengar jelas oleh semua yang hadir. “Ilmu silatmu, Ilmu Macan Kumbang, adalah ilmu yang hebat. Dasarnya adalah kekuatan, keberanian, dan serangan langsung yang menghancurkan. Ia ibarat batu cadas yang besar, yang mampu meremukkan apa saja yang menghalangi jalannya.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Ilmuku berbeda. Aku tidak pernah belajar di padepokan agung atau dari seorang guru besar. Guruku adalah alam di sekeliling kita. Aku menyebutnya Ilmu Angin Lereng Kawi.”
Arok menggerakkan tangannya dengan perlahan, menunjuk ke sekeliling mereka. “Lihatlah pohon bambu itu. Ia tinggi dan tampak rapuh. Ketika badai datang, pohon jati yang besar dan kokoh bisa tumbang patah. Tapi bambu itu? Ia hanya akan meliuk, mengikuti arah angin. Ia tidak melawan, ia menyatu dengan kekuatan yang menyerangnya. Setelah badai berlalu, ia akan kembali tegak seolah tak terjadi apa-apa.”
Ia menunjuk ke sebuah aliran air kecil yang mengalir di antara bebatuan. “Lihatlah air itu. Ia tampak lemah. Tapi ia bisa mengikis batu yang paling keras sekalipun, bukan dengan kekuatan, tapi dengan kesabaran dan sifatnya yang selalu mengalir, mengisi setiap celah. Ia tidak pernah menghantam batu itu secara langsung, ia mengelilinginya, mencari jalan lain.”
“Itulah dasar dari ilmuku,” lanjut Arok, matanya kini menatap lurus ke arah Mahesa. “Ia tidak memiliki bentuk yang pasti. Ia bisa menjadi selembut hembusan angin, selentur batang bambu, atau sekuat aliran air bah. Kekuatannya bukan pada serangan, tetapi pada pemahaman. Memahami arah datangnya kekuatan lawan, dan membiarkannya lewat tanpa membenturnya. Menggunakan tenaga lawan untuk membuatnya kehilangan keseimbangan.”
Mahesa masih belum sepenuhnya mengerti. Baginya, pertarungan adalah adu kekuatan. Siapa yang lebih kuat, dialah yang menang.
“Bualan!” geramnya. “Ilmu silat tanpa kekuatan menyerang hanyalah tarian tak berguna!”
Kali ini, Mahesa mengerahkan seluruh kemampuannya. Ia mengaum keras, dan tubuhnya kembali menerjang maju. Bukan lagi dengan serangan tunggal, melainkan dengan serangkaian pukulan dan tendangan beruntun yang menyasar seluruh bagian tubuh Arok. Gerakannya menciptakan bayangan-bayangan yang membingungkan. Inilah jurus andalannya, Serbuan Bayangan Macan.
Di tengah badai serangan itu, Arok tetap tenang. Tubuhnya bergerak lincah, meliuk ke kiri dan ke kanan, maju dan mundur dengan irama yang tak terduga. Ia seperti daun kering yang dipermainkan angin puyuh, tampak kalang kabut namun tak pernah sekalipun tersentuh. Tangannya sesekali bergerak, bukan untuk menangkis, melainkan untuk menepuk atau mendorong dengan lembut siku atau bahu Umang, setiap kali sentuhan itu membuat arah serangan lawannya sedikit melenceng dari sasaran.
Semua yang menonton terkesima. Mereka melihat sebuah pemandangan yang luar biasa. Mahesa yang menyerang dengan begitu dahsyat tampak lebih lelah, napasnya semakin memburu. Sementara Arok yang terus-menerus bergerak mengelak justru tampak masih segar bugar, napasnya tetap teratur.
Melihat serangannya tak membuahkan hasil, Mahesa mengambil keputusan nekat. Ia meloncat mundur, mengambil jarak, lalu mengumpulkan seluruh sisa tenaganya pada satu titik. “Terimalah ini, Kakang! Cakaran Maut Macan Kumbang!”
Ia melesat maju, kedua tangannya yang membentuk cakar mengarah lurus ke dada Arok. Ini adalah serangan pamungkas yang mampu merobek lempengan baja sekalipun. Sebuah serangan yang mempertaruhkan segalanya.
Kali ini, Arok tidak lagi mengelak.
Tepat ketika cakar maut itu hanya berjarak sejengkal dari dadanya, Arok melakukan sesuatu yang tak terduga. Tubuhnya sedikit memutar, dan dengan kecepatan yang tak bisa diikuti mata, ujung jarinya bergerak maju. Bukan untuk menyerang, melainkan untuk melakukan sebuah totokan ringan di titik pertemuan urat di lengan kanan Umang.
Ctak!
Sebuah sentuhan yang nyaris tanpa suara. Namun akibatnya sungguh dahsyat. Seluruh tenaga yang telah dikumpulkan Mahesa di ujung cakarnya seolah lenyap dalam sekejap, menguap seperti embun disinari matahari. Aliran kekuatannya terputus. Tubuhnya yang melesat maju kehilangan semua kendali dan momentum. Ia jatuh terjerembab di depan kaki Arok, bukan karena dorongan, melainkan karena kekuatannya sendiri yang tiba-tiba hilang.
Keheningan total menyelimuti pelataran itu. Semua orang ternganga tak percaya. Mahesa, sang macan kumbang yang perkasa, berhasil dikalahkan tanpa Arok melepaskan satu pukulan pun yang berarti.
Arok membungkuk, mengulurkan tangannya dan membantu Mahesa berdiri. Wajah Mahesa pucat, dipenuhi keringat dan kebingungan.
“Kau lihat sekarang, Adi?” bisik Arok lembut. “Kekuatan terbesar tidak selalu datang dari hantaman yang paling keras. Terkadang, ia datang dari sentuhan yang paling ringan di saat dan titik yang paling tepat.” Ia menepuk pundak Mahesa. “Api di dalam dirimu adalah anugerah. Jangan biarkan ia membakarmu secara membabi buta. Belajarlah untuk mengendalikannya, membentuknya menjadi panas yang bisa melelehkan baja, bukan sekadar api unggun yang berkobar sesaat lalu padam.”
Mahesa menatap Arok dengan pandangan yang sama sekali baru. Kekagumannya kini bercampur dengan rasa hormat yang mendalam. Ia akhirnya mengerti. Ia mengangguk pelan, tanpa mampu berkata-kata.
Arok melepaskan pundak Mahesa dan berjalan kembali ke tempatnya semula, di tepi tebing. Ia kembali duduk bersila, memandang lembah di bawahnya. Para pengikutnya kini menatapnya dengan cara yang berbeda. Mereka tidak lagi melihatnya hanya sebagai pemimpin yang berani, tetapi sebagai seorang guru yang bijaksana dengan ilmu yang tak terduga kedalamannya.
Namun, di dalam hati Arok, gejolak itu belum sepenuhnya reda. Ia baru saja menunjukkan kekuatan Ilmu Angin Lereng Kawi. Sebuah ilmu yang mampu mengalahkan kekuatan besar dengan kelembutan. Tapi ia juga sadar, ilmu yang sama bisa menjadi alat yang sangat licik dan berbahaya di tangan yang salah. Ia bisa digunakan untuk menipu, menjebak, dan menghancurkan dari dalam.
Pertanyaan itu kembali menghantuinya. Apakah ia benar-benar mampu mengendalikan angin ini? Ataukah suatu saat nanti, angin inilah yang akan berbalik, meniupnya ke dalam jurang kehancuran yang ia gali sendiri? Pertanyaan itu menggantung di udara pagi, tak terjawab, menjadi bayang-bayang kelam di balik cakrawala yang cerah.
***bersambung BAB 04
BAB 04:
https://fiksi-in.blogspot.com/2025/07/bab-04-bayangan-di-malam-buta.html
Komentar
Posting Komentar