**⭐⭐🇮🇩⭐⭐ **
Perhatian!!!
Mohon jangan meng-copy paste sebagian atau keseluruhan Cerita ini.
Anda hanya diperkenankan membaca di blog ini. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya
🙏🤭
******⭐🇮🇩⭐******
Penyusun: AHMADA
(kapiten Tim)
Arak-arakan perburuan itu meninggalkan gerbang istana saat matahari baru sepenggalah naiknya. Rombongan itu tidak terlalu besar, namun memancarkan aura kekuasaan yang kental. Di barisan terdepan, Kebo Ijo menunggangi Guntur Geni dengan gagah perkasa. Kuda hitam itu, yang biasanya liar dan sulit dikendalikan, kini tampak tenang dan patuh di bawah kendali tuannya, sesekali mendengus bangga seolah ingin memamerkan kekuatannya. Di belakangnya, beberapa perwira kepercayaan Kebo Ijo mengikuti dengan kuda-kuda mereka yang tak kalah tegar. Dan di barisan paling belakang, berjalan kaki dengan kepala tertunduk, adalah Gajah—nama baru Arok—yang bertugas menuntun seekor kuda beban yang dipenuhi dengan peralatan berkemah dan perbekalan.
Bagi para penonton di sepanjang jalan, ia hanyalah seorang abdi rendahan, seorang pelayan yang tak berarti, bayangan yang menyertai tuannya. Tak ada yang tahu bahwa di dalam kepala yang tertunduk itu, sepasang mata yang awas sedang bekerja, merekam setiap detail, menganalisis setiap wajah. Inilah kali pertama ia keluar dari kompleks istana setelah sekian lama, dan ia memanfaatkannya untuk melihat Tumapel dari sudut pandang yang berbeda.
Ia melihat kemiskinan yang tersembunyi di balik jalan-jalan utama yang megah. Di gang-gang sempit, ia melihat anak-anak kurus dengan perut buncit dan mata yang kuyu. Ia melihat para pengemis yang dihardik oleh prajurit patroli. Ia melihat sebuah jurang yang begitu dalam antara kemewahan istana dan penderitaan rakyatnya. Pemandangan itu kembali menyulut api di dalam dadanya, mengingatkannya pada tujuan awalnya, tujuan yang terkadang nyaris terlupakan di tengah kesibukannya memainkan peran sebagai Gajah si perawat kuda.
Rombongan itu menuju ke arah Hutan Wanamarta, sebuah hutan lebat di kaki gunung yang dikenal kaya akan binatang buruan seperti celeng, kijang, dan bahkan harimau. Perjalanan memakan waktu beberapa jam, dan selama itu, Gajah memainkan perannya dengan sempurna. Ketika rombongan berhenti untuk beristirahat, ia dengan sigap mengambilkan air untuk para perwira, membersihkan peluh di tubuh Guntur Geni, dan melakukan tugas-tugas kecil lainnya tanpa banyak bicara, hanya dengan senyum patuh yang selalu terpasang di wajahnya.
Para perwira lain nyaris tidak menganggapnya ada. Mereka bercengkerama dan tertawa lepas, membicarakan hal-hal yang tidak mungkin mereka bicarakan di dalam istana.
“Kudengar Sang Akuwu murka lagi kemarin,” kata seorang perwira berperawakan kurus bernama Panji Laras. “Seorang selir barunya tak sengaja menumpahkan arak ke jubah kebesarannya. Gadis malang itu langsung diseret ke penjara bawah tanah.”
“Bukan hal yang aneh,” sahut Wirang, perwira yang pernah didengar Arok mengeluh di barak. Wajahnya tampak muram. “Bagi Sang Akuwu, nyawa seorang abdi lebih murah daripada sehelai benang sutra.”
Kebo Ijo, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Jaga ucapan kalian. Kita di sini untuk berburu, melupakan sejenak urusan istana yang memuakkan. Jangan bawa hawa busuk dari sana kemari.”
Meskipun ucapannya bernada teguran, Arok bisa menangkap sebuah nada kepasrahan dan ketidakpuasan dalam suara Kebo Ijo. Sang perwira yang gagah ini, ternyata juga memendam bara di dalam hatinya. Ia setia pada jabatannya, tapi tidak pada manusianya. Ini adalah sebuah catatan penting yang disimpan Arok baik-baik.
Ketika mereka tiba di tepi hutan, perkemahan segera didirikan. Tenda-tenda dipasang, api unggun dinyalakan, dan para pemburu mulai mempersiapkan busur dan tombak mereka. Tugas Gajah adalah menjaga kuda-kuda dan perkemahan selagi para tuannya masuk ke dalam hutan.
Ini adalah sebuah kesempatan yang tak ternilai. Ditinggal sendirian, ia bisa bergerak lebih leluasa. Namun, ia tidak langsung bertindak. Ia menunggu hingga rombongan pemburu benar-benar lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
Selama beberapa jam pertama, ia melakukan tugasnya seperti biasa. Memberi makan kuda, membersihkan peralatan, seolah ia benar-benar seorang abdi yang setia. Namun, ketika sore mulai menjelang dan ia yakin tak ada mata yang mengawasi, Arok yang sesungguhnya mulai bangkit.
Dengan gerakan yang tak menimbulkan suara, ia menyelinap menjauhi perkemahan. Ia tidak masuk ke dalam hutan, melainkan berjalan menyusuri tepiannya, menuju sebuah arah yang berlawanan dengan arah rombongan Kebo Ijo. Naluri liarnya, yang telah lama ia tekan, mengatakan ada sesuatu di arah ini. Bukan binatang buruan, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang memancarkan aura ketenangan yang aneh, yang terasa kontras dengan kelebatan hutan Wanamarta.
Setelah berjalan hampir satu jam, ia tiba di sebuah tempat yang membuatnya tertegun. Di hadapannya, tersembunyi di antara pepohonan rindang, berdiri sebuah padepokan kecil yang asri dan damai. Bangunannya terbuat dari bambu dan kayu, atapnya dari ijuk, menyatu dengan alam sekitarnya. Halamannya bersih dan ditanami berbagai jenis bunga dan tanaman obat. Di tengah halaman, sebuah pendapa kecil yang terbuka mengundang siapapun untuk singgah. Suasananya begitu tenteram, seolah tempat itu dilindungi oleh sebuah kekuatan gaib yang menolak segala bentuk kejahatan dan kekerasan.
Rasa penasaran mengalahkan kewaspadaannya. Siapa yang berani mendirikan padepokan sedamai ini di dekat hutan yang terkenal angker dan tak jauh dari pusat kekuasaan yang lalim?
Dengan langkah hati-hati, Arok mendekati padepokan itu. Ia tidak melihat ada penjaga. Semuanya tampak terbuka. Dari dalam pendapa, ia mendengar suara lembut seorang wanita yang tengah menyenandungkan sebuah tembang kuno. Suaranya begitu merdu dan jernih, laksana gemericik air di mata air suci, mampu menenangkan jiwa yang paling gelisah sekalipun.
Arok terpaku. Ia belum pernah mendengar suara seindah itu. Suara itu seolah menariknya, memanggilnya untuk mendekat. Ia mengintip dari balik sebatang pohon besar. Dan di sanalah ia melihatnya untuk pertama kali.
Di pendapa itu, duduk seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya. Rambutnya yang hitam legam dan panjang terurai lepas di punggungnya, beberapa helainya yang nakal jatuh di pipinya yang halus. Kulitnya kuning langsat, bersih laksana pualam. Bibirnya yang mungil terus bergerak menyenandungkan tembang macapat yang menyayat hati. Ia tengah tekun menenun sehelai kain dengan alat tenun tradisional, jari-jemarinya yang lentik bergerak dengan lincah dan terampil.
Namun, bukan hanya kecantikannya yang membuat jantung Arok seolah berhenti berdetak. Itu adalah aura yang terpancar dari dirinya. Sebuah aura kesucian, kecerdasan, dan kedukaan yang mendalam, semuanya bercampur menjadi satu. Sorot matanya, meskipun tengah fokus pada pekerjaannya, memancarkan sebuah kebijaksanaan yang jauh melampaui usianya.
Pada saat itulah, seekor kupu-kupu besar dengan sayap berwarna biru cemerlang terbang mendekati sang gadis. Anehnya, gadis itu seolah tidak terkejut. Ia menghentikan pekerjaannya, mengulurkan jari telunjuknya, dan kupu-kupu itu hinggap di sana dengan jinak. Sang gadis tersenyum, sebuah senyuman yang begitu tulus dan murni, yang mampu membuat bunga-bunga di taman seolah ikut tersenyum bersamanya.
Arok terpesona. Ia lupa siapa dirinya. Ia lupa akan misinya. Ia lupa bahwa ia adalah Gajah si perawat kuda, ia lupa bahwa ia adalah Arok sang pemberontak. Pada saat itu, ia hanyalah seorang lelaki yang terpana oleh sebuah keindahan yang sempurna, sebuah visi yang terasa seperti wahyu dari kahyangan.
Tiba-tiba, dari dalam bangunan utama padepokan, keluar seorang lelaki tua yang berwibawa. Ia mengenakan jubah putih sederhana, rambut dan janggutnya yang panjang telah sepenuhnya memutih. Wajahnya penuh dengan keriput kebijaksanaan. Ia berjalan mendekati sang gadis.
“Dedes, putriku,” kata lelaki tua itu dengan suara lembut. “Hari sudah mulai sore. Matamu akan lelah jika terus menenun dalam cahaya temaram.”
Gadis yang dipanggil Dedes itu menoleh pada ayahnya. “Sebentar lagi, Ayah Mpu. Tinggal sedikit lagi kain ini selesai.”
Ayah Mpu! Jadi lelaki tua ini adalah seorang Mpu. Seorang bijak bestari. Dan gadis ini adalah putrinya, Ken Dedes. Nama yang pernah samar-samar ia dengar dalam bisik-bisik di pasar, disebut sebagai kembang padepokan di Kabuyutan Panawijen yang kecantikannya tiada tara di seluruh lereng Gunung Kawi. Ternyata desas-desus itu tidak berlebihan. Kenyataannya bahkan jauh melampaui apa yang dibicarakan orang.
Mpu Purwa, sang ayah, tersenyum dan mengelus kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. “Baiklah. Tapi jangan terlalu memaksakan diri. Setelah ini, jangan lupa untuk menyiapkan persembahan sore di sanggar pemujaan.”
“Baik, Ayah Mpu,” jawab Ken Dedes dengan patuh.
Mpu Purwa kemudian memandang ke arah hutan, ke arah di mana Arok bersembunyi. Tatapannya begitu tajam, seolah mampu menembus batang pohon yang paling tebal sekalipun. Arok seketika tersadar dari keterpesonaannya. Jantungnya berdebar kencang. Apakah ia ketahuan?
Mpu Purwa tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap ke arah persembunyian Arok selama beberapa saat dengan sorot mata yang sulit diartikan, sebelum akhirnya berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah.
Arok merasa tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia sadar, ia telah lancang memasuki sebuah wilayah keramat. Ia harus segera pergi sebelum menimbulkan masalah. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, ia mulai melangkah mundur, mencoba untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Namun, nasib berkata lain. Saat ia melangkah mundur, kakinya tak sengaja menginjak sebuah ranting kering.
KRAK!
Suara itu terdengar begitu nyaring di tengah keheningan sore itu.
Ken Dedes, yang masih duduk di pendapa, langsung mengangkat wajahnya. Tatapannya yang tajam langsung mengarah lurus ke persembunyian Arok. Untuk sepersekian detik yang terasa abadi, mata mereka bertemu.
Mata Arok yang menyiratkan keterkejutan, kekaguman, dan gejolak yang tersembunyi.
Dan mata Ken Dedes yang menyiratkan keterkejutan, rasa ingin tahu, dan sebuah kesedihan yang tak terhingga dalamnya.
Dunia seolah berhenti berputar. Arok merasa seolah seluruh isi alam semesta tersedot ke dalam sepasang mata indah itu. Ia melihat di dalamnya bukan hanya seorang gadis cantik, tetapi sebuah jiwa tua yang terperangkap dalam raga yang muda. Ia melihat sebuah takdir besar yang membayangi kehidupan gadis itu.
Ken Dedes adalah orang pertama yang memutus kontak mata itu. Ia tidak berteriak atau menunjukkan rasa takut. Ia hanya menundukkan kepalanya kembali, berpura-pura melanjutkan pekerjaannya menenun, namun Arok bisa melihat jari-jemarinya sedikit gemetar.
Arok tahu ia harus segera lenyap dari tempat itu. Dengan jantung yang masih berdebar kencang, ia berbalik dan berlari tanpa suara, kembali menembus hutan menuju perkemahan.
Sepanjang perjalanan kembali, bayangan wajah Ken Dedes dan sorot matanya yang menusuk terus menghantuinya. Siapakah gadis itu sebenarnya? Mengapa pertemuannya dengannya terasa begitu mengguncang jiwanya? Perasaan ini berbeda dari amarahnya pada Tunggul Ametung. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih personal, dan lebih membingungkan.
Ketika ia tiba kembali di perkemahan, rombongan Kebo Ijo ternyata sudah kembali lebih awal. Mereka tampak gusar. Perburuan mereka gagal total. Tak seekor binatang pun yang berhasil mereka dapatkan.
“Hutan ini aneh!” gerutu Panji Laras. “Seolah semua binatang telah lenyap ditelan bumi.”
Kebo Ijo tampak termenung. Wajahnya serius. “Ini bukan hal yang wajar. Aku merasa ada kekuatan lain yang melindungi hutan ini. Kekuatan dari padepokan Mpu Purwa.”
Wirang mengangguk setuju. “Aku juga merasakannya, Gusti. Sebaiknya kita tidak mengusik tempat ini lebih jauh. Mpu Purwa bukan orang sembarangan. Bahkan Sang Akuwu pun segan padanya.”
Arok, atau Gajah, yang tengah sibuk membersihkan sepatu bot Kebo Ijo, mendengarkan percakapan itu dengan saksama. Jadi, bahkan Tunggul Ametung pun segan pada Mpu Purwa. Ini adalah informasi yang sangat berharga.
Malam itu, Arok tidak bisa tidur. Ia berbaring di atas alas tidurnya yang terbuat dari jerami, namun pikirannya melayang jauh. Ia mencoba memfokuskan diri pada misinya, pada rencananya untuk menghancurkan Tunggul Ametung. Namun, setiap kali ia mencoba, bayangan wajah Ken Dedes selalu muncul, mengacaukan segalanya.
Ia menyadari sesuatu yang menakutkan. Pertemuannya dengan Ken Dedes telah mengubah sesuatu di dalam dirinya. Perjuangannya yang semula didasari oleh ideologi dan kebencian pada ketidakadilan, kini mulai diwarnai oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang bersifat pribadi. Sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia kini memiliki dua tujuan di Tumapel. Yang pertama adalah meruntuhkan takhta Tunggul Ametung. Dan yang kedua, yang baru saja lahir sore ini, adalah sebuah keinginan yang tak terjelaskan untuk bisa melihat kembali sepasang mata yang menyimpan seluruh duka dan keindahan alam semesta itu.
Tanpa ia sadari, takdir telah menenun benang-benang yang rumit. Pertemuannya dengan Ken Dedes bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah pembukaan dari sebuah babak baru yang jauh lebih besar, lebih tragis, dan lebih kolosal. Gerbang menuju takdirnya yang sesungguhnya telah terbuka, bukan gerbang batu istana Tumapel, melainkan gerbang tak kasat mata di padepokan sunyi di tepi hutan. Dan ia telah melangkah masuk ke dalamnya tanpa bisa kembali.
*****
Bersambung BAB 10.....
⭐⭐⭐⭐🇮🇩🇮🇩🇮🇩⭐⭐⭐⭐
[PROMOSI BERLANGGANAN]
ANDA TELAH MENCAPAI AKHIR BAB GRATIS!
Gejolak di tanah Tumapel baru saja dimulai. Jaring-jaring intrik yang ditenun oleh Arok semakin rumit dan mematikan. Apakah siasatnya di candi tua akan berhasil? Ataukah ia justru akan terperangkap dalam permainannya sendiri? Bagaimana nasib Ken Dedes yang menanti di antara harapan dan ancaman? Dan kapankah kutukan Keris Mpu Gandring akan menuntut korban pertamanya?
Semua jawaban itu menanti Anda dalam bab-bab selanjutnya dari wiracarita kolosal...insyaalloh...
GENTA PARAHYANGAN: SENANDUNG DARAH DI TANAH TUMAPEL
Jangan lewatkan satu pun momen dari kisah epik yang penuh dengan laga, pengkhianatan, kehormatan, dan gelora asmara yang akan menggetarkan jiwa Anda.
TERUSKAN PETUALANGAN ANDA!🤭⭐
Nikmati kelanjutan cerita ini dengan berlangganan bab per bab. Dapatkan akses eksklusif ke bab-bab selanjutnya yang jauh lebih menegangkan dan mendebarkan!
HARGA PROMOSI SPESIAL!
Hanya Rp 2.500,- per Bab!
(Mulai dari Bab 10 dan seterusnya, hingga tamat di +- Bab 48)
Cara Berlangganan Sangat Mudah:
Transfer Biaya Langganan:
Lakukan transfer sebesar Rp 2.500,- (atau kelipatannya jika ingin membeli beberapa bab sekaligus) ke akun:
DANA : 085852347325
Kirim Bukti Pembayaran:
Ambil tangkapan layar (screenshot) bukti transfer Anda. Kirimkan bukti tersebut melalui email ke:
Email : denjaya518@gmail.com
Sertakan Keterangan:
Pada subjek atau badan email, tuliskan dengan jelas "Langganan Genta Parahyangan - Bab [Nomor Bab yang Anda inginkan]".
Contoh: "Langganan Genta Parahyangan - Bab 10"
Atau jika membeli beberapa bab: "Langganan Genta Parahyangan - Bab 10,11,12"
Terima Bab Lanjutan Anda!
Setelah konfirmasi pembayaran diterima, bab lanjutan dalam format digital (PDF) akan segera dikirimkan ke alamat email Anda +- 1- 3x 24 jam kemudian.
Garansi: jika pengiriman file melebihi batas 3x24 jam dari waktu konfirmasi pembelian via email. Maka uang anda akan kami tf ulang ke dana idyang anda setujui kemudian 1-7 x 24 jam( hal ini karena sebagai antisipasi jika ada kesibukan lain sehingga kami tidak bisa online, misal ada tugas kerja utaka dll)
Mengapa Anda Harus Berlangganan?
Ikuti Alur Cerita Tanpa Jeda: Jadilah yang pertama mengetahui kelanjutan nasib Arok, Ken Dedes, dan para tokoh lainnya.
Kualitas Cerita yang Mendalam: Setiap bab selanjutnya akan membawa Anda lebih dalam ke dalam intrik politik, pertarungan silat yang memukau, dan drama percintaan yang menyayat hati.
Dukung Langsung Sang Penulis: Setiap langganan Anda adalah bentuk apresiasi dan dukungan terbesar yang memungkinkan kisah-kisah epik seperti ini terus lahir.
Jangan biarkan rasa penasaran Anda menggantung!
Ambil langkah Anda sekarang, dan jadilah saksi dari lahirnya sebuah legenda.
Transfer ke DANA 085852347325 dan kirim bukti ke denjaya518@gmail.com hari ini!
Semoga bermanfaat, menghibur dan meng inspirasi bagi kita semua dan makin bahgia, Sukses dunia Akherat.... Aamiin. Terima kasih atas Perhatian dan... Berlangganan BAB nya ya, sis🤭🙏⭐🎼🇮🇩🇮🇩🇮🇩🛫🛫🛫🛫
Komentar
Posting Komentar