Bab 04: Bayangan di Malam Buta


**Perhatian!!! 

Mohon jangan meng-copy paste sebagian atau keseluruhan Cerita ini. 

Anda hanya diperkenankan membaca di blog ini. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya

🙏🤭⭐🇮🇩**

**************

Hari-hari berlalu di lereng Kawi laksana air yang mengalir tenang setelah badai kecil berlalu. Kemenangan di Jatiwangi dan pertarungan persahabatan antara Arok dan Mahesa telah menorehkan perubahan yang dalam di antara para pengikutnya. Semangat mereka yang semula liar dan hanya dilandasi oleh kebencian, kini mulai terbentuk, memiliki arah dan kedisiplinan. Mereka berlatih dengan lebih tekun, bukan lagi untuk melampiaskan amarah, tetapi untuk menguasai diri. Mahesa, yang telah merasakan langsung kedalaman ilmu Arok, kini menjadi muridnya yang paling patuh sekaligus pengawas latihan yang paling keras bagi kawan-kawannya.


Namun, di tengah suasana yang mulai tertata itu, Arok justru semakin sering menyendiri. Jiwanya yang tajam laksana bilah pedang pusaka merasakan sebuah kegelisahan yang tak terjelaskan. Ia telah berhasil menyalakan sebuah obor di tengah kegelapan, tetapi ia tahu betul, obor yang sama bisa menarik perhatian serigala-serigala yang jauh lebih buas dari sekadar Ki Glondong Wisesa. Ia merasa telah mencapai sebuah batas. Batas dari apa yang bisa ia capai dengan kekuatan gerombolannya, batas dari perlawanan di alam liar.


Setiap malam, ia menatap kerlip lampu di lembah Tumapel, dan hatinya terasa kian berat. Ia seperti seorang pengembara yang berhasil mendaki sebuah bukit, hanya untuk melihat gunung yang jauh lebih tinggi dan mustahil menjulang di hadapannya. Perlawanannya saat ini hanyalah duri kecil di kaki sang raksasa. Untuk merobohkan raksasa itu, ia harus menemukan jantungnya. Tapi di mana? Dan bagaimana caranya?


Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menjadi angin puyuh yang tak kunjung reda.


Suatu malam, ketika rembulan bersembunyi malu-malu di balik awan dan hanya bintang-bintang yang berani menatap bumi, Arok tak lagi sanggup menahan gejolak di dalam dadanya. Ia membutuhkan kesunyian yang mutlak. Ia butuh berbicara pada satu-satunya guru yang selama ini ia kenal: alam itu sendiri.


Tanpa berkata pada siapapun, bahkan pada Tanca sekalipun, ia beranjak dari pembaringannya. Dengan gerakan yang lebih ringan dari bayangan, ia menyelinap meninggalkan gua persembunyian, menembus lebatnya hutan menuju bagian gunung yang lebih tinggi dan lebih keramat, sebuah tempat yang bahkan oleh kawan-kawannya sendiri jarang didatangi karena dianggap angker.


Hutan di malam hari adalah sebuah dunia yang sama sekali berbeda. Pohon-pohon raksasa menjulang laksana tiang-tiang penyangga langit yang hitam, dahan-dahannya yang meranggas tampak seperti tangan-tangan kerangka yang mencoba menggapai bulan. Suara jangkrik dan tonggeret bersahut-sahutan, menciptakan sebuah orkestra alam yang agung sekaligus mencekam. Bagi orang biasa, hutan ini adalah labirin kematian. Namun bagi Arok, ini adalah rumahnya. Ia mengenal setiap liku jalan setapak, setiap aroma dari dedaunan yang lapuk, setiap gemerisik yang menandakan kehadiran seekor binatang.


Namun, malam ini terasa ada yang aneh.


Semakin dalam ia masuk ke dalam hutan, semakin sunyi suasana di sekelilingnya. Orkestra serangga malam itu perlahan lenyap, digantikan oleh keheningan yang pekat dan berat. Angin yang biasanya berdesir di antara dedaunan pun seolah menahan napas. Arok berhenti melangkah. Bulu kuduknya meremang. Ini bukan kesunyian biasa. Ini adalah kesunyian yang menandakan kehadiran sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang membuat seluruh alam menunduk hormat.


Ia adalah seorang petarung ulung. Naluri bahayanya setajam silet. Namun anehnya, ia tidak merasakan hawa permusuhan. Ia tidak merasakan aura membunuh. Yang ia rasakan justru sebuah ketenangan yang luar biasa dahsyat, sebuah kedamaian yang begitu agung hingga terasa menekan.


Dengan kewaspadaan yang ditingkatkan hingga ke puncak, Arok melanjutkan langkahnya. Tujuannya adalah sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di balik dinding batu berlapis lumut, tempat yang sering ia gunakan untuk bersemedi.


Ketika ia tiba di sana, pemandangan yang menyambutnya membuatnya terpaku.


Di tengah pelataran kecil di depan air terjun, di atas sebuah batu datar yang biasa ia duduki, kini telah ada sesosok tubuh. Sosok itu duduk bersila dengan punggung lurus menghadap ke arahnya. Ia mengenakan jubah putih sederhana yang sedikit kusam, rambutnya yang panjang dan telah memutih diikat seadanya. Dari punggungnya, Arok bisa melihat sosok itu adalah seorang lelaki tua.


Seluruh otot di tubuh Arok menegang. Siapakah orang ini? Bagaimana ia bisa berada di sini tanpa ia sadari kehadirannya sama sekali? Bahkan binatang buas yang paling lihai pun tak akan bisa menyelinap ke tempat ini tanpa terdeteksi olehnya.


Lelaki tua itu seolah merasakan kehadiran Arok. Tanpa menoleh, ia berbicara. Suaranya tidak keras, namun terdengar sangat jelas dan berwibawa, seolah menyatu dengan gemericik air terjun di belakangnya.


“Api yang kau sulut di lembah, telah terasa hangatnya hingga ke puncak gunung ini, Anak Muda.”


Jantung Arok berdebar kencang. Orang ini tahu.


“Siapakah kau, Kakek?” tanya Arok, suaranya tetap tenang meski di dalam dirinya kewaspadaan telah mencapai puncaknya. Tangannya sudah siap untuk meraih gagang pedang di punggungnya.


Lelaki tua itu perlahan membalikkan badan. Dan ketika Arok melihat wajahnya, ia kembali tertegun. Wajah itu telah dipenuhi keriput, menandakan usia yang sangat lanjut. Namun sepasang matanya… sepasang mata itu bersinar dengan cahaya kebijaksanaan yang lembut namun mampu menembus hingga ke dasar jiwa. Tatapannya tidak menghakimi, tidak juga mengancam. Tatapannya seolah telah melihat seribu musim berlalu, seolah telah memahami segala rahasia alam semesta. Di dalam tatapan itu, Arok merasa dirinya telanjang bulat, segala gejolak dan keresahan hatinya seolah terbaca dengan jelas.


“Namaku Lohgawe,” jawab lelaki tua itu dengan senyum tipis. “Aku hanyalah seorang Brahmana pengembara yang menjadikan gunung ini sebagai atap dan bumi ini sebagai alas tidur.”


Arok masih belum menurunkan kewaspadaannya. “Bagaimana kau bisa tahu tentang apa yang terjadi di lembah?”


Lohgawe tertawa kecil, sebuah tawa yang jernih seperti suara genta. “Angin membawakan berita untukku. Gemerisik daun menceritakan kisah padaku. Dan getar bumi ini menyampaikan keresahan hatimu kepadaku, Anak Muda. Kau datang kemari mencari jawaban, bukan?”


Lidah Arok terasa kelu. Setiap kata yang diucapkan Brahmana ini seolah menamparnya dengan kebenaran yang tak terbantahkan.


“Kau telah melakukan hal yang benar,” lanjut Lohgawe. “Kau membela yang lemah dan melawan yang zalim. Niat hatimu bersih laksana mata air di puncak gunung ini.” Ia berhenti sejenak, tatapannya menjadi lebih tajam. “Tetapi, jalan yang kau tempuh adalah jalan buntu.”


“Apa maksudmu?” tanya Arok, suaranya sedikit bergetar.


“Kau memotong ranting-ranting pohon beracun, tapi kau membiarkan akarnya terus tumbuh subur di dalam tanah. Kau mengusir serigala-serigala kecil, tapi kau membiarkan induknya terus melahirkan anak-anak baru di dalam sarangnya,” jelas Lohgawe dengan perumpamaan yang menusuk. “Tindakanmu di Jatiwangi hanyalah sebuah riak kecil. Tunggul Ametung hanya akan mengirim pemungut upeti yang baru, mungkin dengan pengawalan yang lebih ketat. Kau mungkin bisa mengalahkan mereka lagi, dan lagi. Tapi sampai kapan? Kau akan terus terjebak dalam lingkaran perlawanan kecil di lereng gunung ini, sementara di pusat kekuasaan, kezaliman itu akan terus mencengkeram dan mengokohkan dirinya.”


Setiap kata-kata Lohgawe adalah palu godam yang menghantam dinding pertahanan di dalam hati Arok. Inilah jawaban yang selama ini ia cari, kebenaran pahit yang sebenarnya telah ia rasakan namun tak berani ia akui.


Arok terduduk lemas di atas rerumputan yang basah. Kekuatan di seluruh tubuhnya seolah terkuras habis. “Lalu… apa yang harus kulakukan, Brahmana?” bisiknya, nada suaranya kini penuh dengan kepasrahan seorang murid yang menemukan gurunya.


Lohgawe tersenyum. “Untuk memadamkan api, kau harus menemukan sumbernya. Untuk merobohkan sebatang pohon, kau harus menebang pangkalnya.” Ia menatap lurus ke mata Arok. “Jalan takdirmu tidak tertulis di hutan belantara ini, Arok. Jalanmu terbentang di sana…”


Jari telunjuknya yang kurus namun kokoh menunjuk jauh ke arah tenggara, ke arah di mana kerlip-kerlip cahaya dari pusat kadipaten Tumapel tampak paling terang.


“Di jantung istana. Di sarang singa itu sendiri.”


Darah serasa berhenti mengalir di dalam tubuh Arok. Apa yang dikatakan orang tua ini? Masuk ke dalam istana? Itu adalah sebuah kegilaan. Itu sama saja dengan menyerahkan leher untuk dipancung.


Seolah bisa membaca pikirannya, Lohgawe berkata lagi, “Seekor serigala tidak akan bisa dikalahkan dengan cara domba. Untuk melawan seekor naga, kau tidak bisa hanya menyerangnya dari luar sisiknya yang keras. Kau harus masuk ke dalam perutnya, dan merobek jantungnya dari dalam.”


Arok terdiam seribu bahasa. Pikirannya berkecamuk. Jalan yang ditawarkan Brahmana ini adalah jalan yang paling berbahaya, paling mustahil, namun entah kenapa terdengar paling masuk akal. Ini adalah sebuah pertaruhan total. Menang atau mati. Tidak ada pilihan di antaranya.


“Aku melihat api yang besar di dalam dirimu, Arok,” suara Lohgawe kembali terdengar, kali ini lebih lembut. “Api seorang pemimpin, bahkan api seorang raja. Tetapi api tanpa tungku yang benar hanya akan menjadi asap yang menyesakkan dan membakar hutan tanpa tujuan. Istana Tumapel bisa menjadi tungku yang akan menempa apimu menjadi kekuatan yang mampu mengubah nasib seluruh tanah ini.”


Lama sekali Arok terdiam. Ia menunduk, menatap tangannya yang kokoh. Tangan yang selama ini terbiasa menggenggam pedang dan memanjat tebing. Bisakah tangan yang sama memainkan peran dalam intrik dan siasat di dalam dinding istana yang penuh kepalsuan?


Akhirnya, ia mengangkat wajahnya. Keraguan di matanya telah lenyap, digantikan oleh sebuah tekad yang sekeras baja. Api di dalam dirinya telah menemukan arah yang baru.


“Apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan suara mantap.


Lohgawe tersenyum penuh arti. Ia tahu, kailnya telah mengena. “Pertama, kau harus mematikan dirimu yang sekarang. Arok sang pemberontak harus lenyap ditelan bumi. Kau harus lahir kembali sebagai pribadi yang baru, seseorang yang bisa diterima di dalam istana.” Ia bangkit berdiri. “Jalan ini akan penuh dengan duri dan pengorbanan. Kau mungkin harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nuranimu. Kau siap menanggung harganya?”


Arok bangkit berdiri, tubuhnya tegap dan penuh keyakinan. “Demi membebaskan tanah ini dari cengkeraman tiran, harga apapun akan kubayar.”


“Bagus,” kata Lohgawe. “Jika tekadmu sudah bulat, temui aku saat fajar pertama menyingsing di Candi Watu Kembang, di perbatasan hutan ini. Kita akan memulai perjalananmu yang sesungguhnya.”


Setelah mengucapkan kata-kata itu, Brahmana Lohgawe berbalik. Dengan beberapa langkah saja, tubuhnya seolah menyatu dengan bayang-bayang pepohonan dan lenyap ditelan kegelapan, seolah ia tak pernah ada di sana.


Arok ditinggalkan seorang diri di depan air terjun. Suara gemericik air kini terdengar seperti musik yang membisikkan lagu tentang takdir yang baru. Hatinya yang tadi bergejolak kini terasa tenang, sebuah ketenangan yang menakutkan menjelang badai besar. Malam ini, ia datang ke hutan sebagai seorang pemimpin gerombolan. Namun, ia akan meninggalkan hutan ini sebagai seorang calon penakluk yang siap melangkah ke dalam takdirnya yang paling agung sekaligus paling berbahaya.

****bersambung BAB 05

BAB 05 :

https://fiksi-in.blogspot.com/2025/07/bab-05-gejolak-batin-sang-buronan.html

Komentar

Postingan Populer